وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ

وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ

Minggu, 13 November 2011

Meraih Pahala Besar dengan Sedikit Amal


Setiap manusia mempunyai tabiat ingin meraih kebaikan yang banyak, baik dalam materi duniawi maupun pahala ukhrawi, namun orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat lebih mengharapkan pahala akhirat dari kesenangan dunia yang sedikit, karena akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.
Allah memerintahkan kita untuk mencari akhirat tanpa melupakan dunia :

وَابْتَغِ فِيْمَا آتَاكَ اللهُ الدَّارَ الأَخِرَةَ وَلاَ تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا.

“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia…”. (Al Qashash : 77).
Dahulu, kaum mukminin sibuk berlomba mencari pahala akhirat. Abu Dzarr radliyallahu ‘anhu berkata,” Sesungguhnya beberapa orang dari shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ,”Wahai Rosulullah, orang-orang kaya telah pergi membawa pahala banyak ; mereka sholat sebagaimana kami sholat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka dapat bersedekah dengan kelebihan harta mereka…”. (HR Muslim).[1]
Subhanallah ! mereka iri kepada orang kaya bukan karena mempunyai materi kekayaan yang tidak mereka miliki, namun iri karena orang kaya dapat berinfaq dan shodaqah sementara mereka tidak, sehingga mereka tidak dapat meraih pahala besar seperti yang diraih oleh orang kaya.
Memang itulah tempat perlombaan kaum mukminin, maka selayaknya bagi seorang muslim untuk memikirkan masa depannya di hari akhirat, karena harta dan anak-anak pada hari itu tidak bermanfaat kecuali orang yang membawa hati yang selamat, membawa pahala besar agar dapat menyelamatkan dirinya dari api neraka.
Saudaraku, agar mendapat pahala yang besar, kita sangat membutuhkan ilmunya, karena orang yang berilmu dapat meraih pahala yang besar dengan sedikit amal, ibnu Qayyim rahimahullah berkata,” Orang yang berilmu, sedikit amalnya namun lebih banyak pahalanya, kenyataan membuktikan demikian, dimana para pekerja amat lelah bekerja, sementara instruktur hanya duduk memerintah dan melarang serta memperlihatkan tata caranya, namun gajinya jauh lebih tinggi dari pada para pekerja.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengisyaratkan kepada makna ini, sabdanya :

أَفْضَلُ الأَعْمَالِ الإِيْمَانُ بِاللهِ ثُمَّ الْجِهَادُ.

“Iman yang paling utama adalah beriman kepada Allah kemudian jihad “.[2]
Padahal jihad adalah mengorbankan jiwa raga dan menghadapi kesusahan yang dahsyat, sedangkan iman adalah ilmu di hati, amal dan pembenaran, dan ia amalan yang paling utama. Padahal jihad jauh lebih melelahkan dan sulit berkali-kali lipat.
Hal ini karena dengan ilmu dapat diketahui martabat dan tingkatan amalan, mana yang afdlal dan mana yang tidak, mana yang unggul dan mana yang tidak.. sementara orang yang beramal tanpa ilmu mengira bahwa keutamaan itu terletak pada kesulitan yang ia hadapi”.[3]
Ada beberapa perkara yang harus kita fahami, agar dapat meraih pahala besar :

Pertama : Memahami syarat di terimanya amal.

Syarat diterimanya amal adalah ikhlas dan sesuai dengan sunnah, Allah Ta’ala berfirman

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْ لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.

“Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia beramal shalih, dan janganlah ia mempersekutukan dengan sesuatupun dalam beribadah kepada Rabbnya “. (Al Kahfi : 110).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,”(Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya) maksudnya mengharapkan pahala dan balasan yang baik (Maka hendaklah ia beramal shalih) yaitu yang sesuai dengan syari’at Allah (dan janganlah ia mempersekutukan dengan sesuatupun dalam beribadah kepada Rabbnya) yaitu yang diinginkan dengannya wajah Allah tidak ada sekutu bagi-Nya.
Ini adalah dua rukun amal agar diterima, yaitu harus ikhlash karena Allah dan benar sesuai dengan syari’at Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “.[4]
Al Fudlail bin ‘Iyadl ketika menafsirkan firman Allah : ليبلوكم أيكم أحسن عملا “Agar Allah menguji siapa diantara kamu yang paling baik amalnya”. ( Al Mulk : 2) berkata,” Yaitu yang ikhlas dan benar, sesungguhnya amal bila ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima, dan apabila benar namun tidak ikhlas juga tidak akan diterima. Yang ikhlas adalah yang beramal karena Allah dan yang benar adalah yang sesuai dengan sunnah”.[5]
Pengaruh keikhlasan.
Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya keikhlasan sangat berpengaruh kepada besar kecilnya pahala ibadah yang dilakukan oleh hamba, sebagian ulama salaf berkata,” Berapa banyak amalan yang kecil menjadi besar pahalanya dengan niat, dan berapa banyak amalan yang besar menjadi kecil pahalanya dengan niat “.[6] Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلاَ يَقْبَلُ اللهُ إِلاَّ الطَّيِّبَ وَإِنَّ اللهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِيْنِهِ ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهِ كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ حَتَّى تَكُوْنَ مِثْلَ الْجَبَلِ .

“ Barang siapa yang bershodaqoh dengan sebutir kurma dari usaha yang halal, dan Allah tidak menerima kecuali yang thayyib, Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya, lalu mengembangkannya sebagaimana seseorang dari kalian mengembang biakkan kudanya, sehingga menjadi sebesar gunung “. (HR Bukhari dan Muslim).[7]
Allah mengembangkan shodaqohnya dengan keikhlasan niatnya sehingga menjadi sebesar gunung bahkan lebih besar lagi. Sebaliknya semakin kurang keikhlasannya semakin berkurang juga pahalanya bahkan sampai tidak mendapatkan pahala sama sekali , Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفَ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلاَّ عُشُرُ صَلاَتِهِ تُسُعُهَا ثُمُنُهَا سُبُعُهَا سُدُسُهَا رُبُعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا

“ Sesungguhnya seseorang selesai dari sholatnya namun hanya dituliskan untuknya sepersepuluh pahala sholatnya, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga, dan setengah “. (HR Abu dawud).[8]
Maka kewajiban kita adalah berusaha keras agar senantiasa ikhlas dalam beramal shalih, karena ikhlas itu sangat berat bahkan lebih berat dari amal, Ayyub As Sikhtiyani berkata,” Mengikhlaskan niat bagi orang yang beramal lebih berat dari seluruh amal “.[9] Suhail bin Abdillah ditanya,” Apakah yang paling berat bagi jiwa ? ia menjawab,” Ikhlas “.[10]

Kedua : Iidak ada pahala kecuali dengan niat.

Patokan ini ditunjukkan oleh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang terkenal :

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَ إِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلىَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلىَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلىَ مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.

“ Sesungguhnya amal itu sah dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang mendapatkan (pahala atau siksa) sesuai dengan apa yang ia niatkan, barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rosul-Nya maka hijrah kepada Allah dan Rosul-Nya dan barang siapa yang hijrah karena dunia yang ia cari atau wanita yang ingin ia nikahi maka hijrahnya sesuai dengan tujuannya tersebut “. (HR Bukhari dan Muslim).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membagi niat menjadi dua : niat amal dan niat idlofah, niat amal mempengaruhi sah atau tidaknya amal, sedangkan niat idlofah mempengaruhi pahala atau siksa yang akan ia dapatkan.
Saudaraku, niat sangat mempengaruhi besar kecilnya pahala yang diraih oleh seorang hamba sebagaimana yang telah terdahulu, namun niat mempunyai beberapa syarat yang harus dipenuhi agar menjadi absah, yaitu :
1. Islam.
Niat ibadah orang kafir tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya :

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيْنًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الأَخِرَةِ مِنَ الخَاسِرِيْنَ.

“Dan barangsiapa yang mencari agama selain islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi”. (Ali Imran : 50).
2. Tamyiz.
Yaitu usia anak yang dapat membedakan, kebanyakan anak mumayyiz pada umur tujuh tahun, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ.

“Perintahkanlah anak-anakmu untuk sholat pada usia tujuh tahun, dan pukul mereka (bila tidak mau sholat) pada usia sepuluh tahun”. (HR Abu Daud).[11]
3. Berilmu tentang apa yang ia niatkan.
Maksudnya ia harus mengetahui apakah ia akan ibadah wajib atau sunnah, tidak boleh ibadah sunnah dengan niat ibadah wajib atau sebaliknya. Dan ini menunjukkan bahwa seorang hamba harus menuntut ilmunya dahulu sebelum beramal.
4. Antara niat dan perbuatan tidak saling bertentangan.
Maksudnya niat harus sesuai dengan apa yang akan ia lakukan, maka jika seseorang berniat puasa namun tidak direalisasikan dengan perbuatannya, maka ibadahnya tidak sah.
5. Niat harus berada di awal amal.
Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai puasa :

مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ.

“Barangsiapa yang tidak berniat puasa di waktu malam maka tidak ada puasa baginya”. (HR An Nasai).[12]
Maka orang yang lupa melakukan shalat dzuhur, kemudian sholat ashar lalu ditengah sholat ia ingat belum melaksanakan sholat dzuhur, kemudian ia langsung merubah niatnya menjadi sholat dzuhur, maka sholat dzuhur dan ‘asharnya tidak sah.
Dikecualikan dari hukum ini adalah puasa sunnah, berdasarkan hadits Aisyah radliyallahu ‘anha ia berkata,” Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila masuk kepadaku bersabda,” Apakah ada makanan ? apabila kami berkata,” Tidak ada”. Beliau bersabda,”Sesungguhnya aku berpuasa (hari ini)”. Berkata Thalhah,”Beliau (memulai) berpuasa dan berbuka di pagi hari”. (HR Abu dawud).[13]
6. Niat harus selalu ada dari awal sampai akhir ibadah.
Maksudnya tidak boleh diputus, Maka orang yang lupa melakukan shalat dzuhur, kemudian sholat ashar lalu ditengah sholat ia ingat belum melaksanakan sholat dzuhur, kemudian ia langsung merubah niatnya menjadi sholat dzuhur, maka sholat dzuhur dan ‘asharnya tidak sah, karena ia tidak memulai niat dari awal dan telah memutus niatnya.
7. Tidak boleh ada dua niat dalam satu ibadah.
Ini khusus untuk ibadah yang tidak dapat mencukupi yang lainnya seperti sholat fardlu, maka tidak boleh meniatkan sholat dzuhur dan ‘ashar dalam satu sholat.

Ketiga : ibadah yang sesuai dengan sunnah lebih besar pahalanya dari ibadah yang tidak sesuai dengan sunnah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mencontohkan kepada umatnya yang paling utama karena beliau adalah suri tauladan yang paling baik bagi umatnya, Allah berfirman :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ الأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا.

“Sungguh telah ada pada diri Rosulullah suri tauladan yang baik untukmu, bagi orang yang menginginkan Allah dan hari akhirat dan banyak mengingat Allah “. (Al Ahzab : 21).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,” Ayat ini adalah dalil yang agung dalam meneladani Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada perkataannya, perbuatan dan keadaannya”.[14]
Allah ingin diibadahi sesuai dengan apa yang Ia cintai dan ridlai, maka Allah mewahyukan kepada Nabi-Nya tata cara ibadah yang Ia sukai, dan kewajiban hamba adalah mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam apa yang beliau lakukan dan apa yang beliau tinggalkan.
Contoh praktek dari patokan ini : bila ada dua orang yang sedang sholat sunnah qobliyah shubuh, yang satu melakukannya dengan secara ringan, dan yang satu lagi melakukannya dengan panjang. Mana yang lebih utama ? Jawab : yang lebih utama adalah yang ringan karena itulah yang dilaksanakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah radliyallahu ‘anha.
Namun yang harus diingat bahwa perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak semuanya harus kita ikuti, karena perbuatan Nabi itu bermacam-macam. Syaikh Muhamad bin Shalih ‘Utsaimin[15] membagi perbuatan Nabi kepada beberapa macam, yaitu :
Pertama : perbuatan Nabi yang bersifat tabiat manusiawi seperti tidur, makan, minum dan lain-lain. Maka jenis perbuatan ini tidaklah berhubungan dengan perintah tidak pula larangan.
Akan tetapi terkadang kita diminta untuk melakukan perbuatan tersebut dengan sifat tertentu karena ada dalil yang menunjukkan kepada hal itu, seperti tidur di atas rusuk kanan dan membaca dzikir sebelum tidur, maka ini menjadi disunnahkan.
Atau dalam rangka menjaga kesehatan dan menghindari mudlarat, seperti orang yang mempunyai penyakit diabetes, dilarang makan manisan karena berbahaya baginya.
Kedua : perbuatan Nabi yang berhubungan dengan adat istiadat seperti pakaian, maka ini hukumnya mubah, akan tetapi apakah disunnahkan kita melakukannya seperti apa yang dilakukan oleh Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ?
Jawabnya tidak sunnah, yang sunnah adalah mengikuti adat istiadat di tempat kita hidup selama tidak bertentangan dengan syari’at[16], contohnya bila ada yang bertanya, mana yang lebih utama untuk di indonesia ; memakai sarung dan baju muslim atau memakai gamis dan gutrah seperti pakaiannya orang saudi ?
Yang paling utama adalah memakai sarung dan baju muslim karena itu yang sesuai dengan adat istiadat di indonesia, karena pakaian yang menyalahi adat istiadat menjadi pakaian syuhrah yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam[17].
Ini yang berhubungan dengan jenis pakaiannya, adapun yang berhubungan dengan tata caranya seperti mendahulukan yang kanan ketika memakai dan kiri ketika melepas maka ia disunnahkan.
Ketiga : perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam rangka mempraktekan perintah Allah ‘Azza wa Jalla, maka hukum perbuatan itu sesuai dengan hukum perintah tersebut, jika perintah tersebut bersifat wajib maka perbuatan tersebut menjadi wajib, dan jika sunnah maka menjadi sunnah.
Contohnya perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wallam mengusap seluruh kepalanya dalam wudlu dalam rangka mempraktekan perintah Allah untuk mengusap kepala yang wajib, maka hukum perbuatan itu adalah wajib, dan perincian masalah ini ada dalam kitab ushul fiqih.
Keempat : perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang hanya semata-mata perbuatan yang bernilai ibadah tanpa ada perintah, hukumnya adalah sunnah saja. Contohnya adalah bersiwak, berwudlu di setiap kali hendak shalat dan lain-lain.
Kelima : perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak kita ketahui apakah bernilai ibadah atau hanya sebatas adat istiadat. Contohnya adalah memanjangkan rambut dimana beliau tidak menggundul tidak pula memotongnya kecuali bila haji atau umrah. Syaikh Utsaimin condong menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa ia bukan sunnah.
Keenam : perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersifat khusus untuk beliau tanpa umatnya, maka umatnya tidak boleh melakukannya, seperti mempunyai lebih dari empat istri dan lain-lain.

Keempat : Bersikap sedang dalam melaksanakan sunnah lebih baik dari bersungguh-sungguh dalam bid’ah.

Ini adalah ungkapan yang masyhur yang diucapkan oleh sebagian shahabat, diantaranya adalah : Abu Darda dan Abdullah bin Mas’ud sebagaimana disebutkan dalam kitab syarah ushul I’tiqad Ahlussunnah wal jama’ah (no 114 dan 115).
Dan dalam kitab Al hujjah fi bayanil mahajjah (1/111) Ubay bin Ka’ab berkata,” Sesungguhnya bersikap sedang di jalan (Allah) dan sunnah lebih baik dari pada bersungguh-sungguh dalam perkara yang menyelisihi jalan dan sunnah, maka lihatlah amalmu dalam kesungguhan dan bersikap sedang, hendaklah ia sesuai dengan manhaj para Nabi dan sunnah mereka”.
Para shahabat dan Tabi’in telah memperaktekan kaidah ini dengan praktek yang detail, mereka sangat bersemangat dalam mengikuti sunnah walaupun pada amal yang sedikit, mereka meninggalkan bid’ah dan lari menjauh darinya, walaupun dikira oleh orang lain bahwa pada bid’ah tersebut ada tambahan kebaikan.
Abul Ahwash Sallam bin Sulaim pernah berkata pada dirinya,” Wahai Sallam, tidur di atas sunnah adalah lebih baik dari pada bangun di atas bid’ah”.[18]
Karena setiap amal yang bid’ah tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala, sebagaimana dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barang siapa yang beramal dengan suatu amal yang tidak ada asalnya dari perintah kami, maka amal tersebut tertolak”. (HR Muslim).

Kelima : Pahala ibadah dilipat gandakan bila bertepatan dengan waktu yang mulia.

Diantara waktu yang mulia adalah sepuluh hari pertama bulan dzulhijjah, sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهِنَّ أَحَبُّ إِلىَ اللهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ.

“Tidak ada hari-hari yang amal shalih pada waktu itu lebih dicintai oleh Allah dari hari-hari sepuluh ini”. (HR Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya).[19]
Diantara waktu yang mulia adalah sepuluh malam terakhir bulan Ramadlan, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersungguh-sungguh beribadah di malam-malam itu, terutama di malam lailatul qodar yang Allah sebutkan bahwa ibadah di malam itu lebih baik dari ibadah seribu bulan.
Diantara waktu yang utama adalah waktu sepertiga malam terakhir sebagaimana hadits

يَتَنَزَّلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلُّ لَيْلَةٍ إِلىَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقىَ ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرِ فَيَقُوْلُ : مَنْ يَدْعُوْنِي فَأَسْتََجِيْبُ لَهُ وَمَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيهِ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرُ لَهُ.

“Rabb kita yang Maha Mulia lagi Maha Tinggi turun ke langit dunia ketika sepertiga malam terakhir seraya berfirman,” Siapakah yang berdo’a kepada-Ku, Aku akan kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, Aku akan berikan, dan siapa yang memohon kepada-Ku, Aku akan ampuni ia”. (HR Bukhari dan Muslim). [20]
Diantaranya juga adalah waktu sahar (akhir malam) sebagaimana firman Allah Ta’ala :

وَ بِالأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ.

“Dan di waktu sahar (akhir malam) mereka memohon ampun kepada Allah”. (Adz Dzariat : 18).
Al Hafidz ibnu Hajar rahimahullah ketika mensyarah hadits mengenai jarak antara waktu sahur dengan adzan dimana Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu bertanya kepada Zaid bin Tsabit,” Berapa jarak antara adzan dan sahur ?” Zaid menjawab,” Sekitar lima puluh ayat”. (HR Bukhari).[21]
Ibnu Hajar berkata mengomentari,” Orang-orang arab biasanya memperkirakan waktu dengan pekerjaan, seperti selama memerah susu, atau selama menyembelih unta. Namun Zaid bin Tsabit memperkirakan dengan lamanya membaca Al Qur’an sebagai isyarat bahwa waktu itu adalah waktu ibadah dengan membaca Al Qur’an”.[22]
Diantara waktu yang utama juga adalah hari jum’at, karena ia adalah seutama-utamanya hari, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمَ الجُمُعَةِ.

“Sebaik-baiknya hari yang matahari terbit padanya adalah hari jum’at”. (HR Muslim).[23]
Hari jum’at adalah waktu shalawat yang paling utama, berdasarkan hadits :

إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فِيْهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيْهِ النَّفْخَةُ وَفِيْهِ الصَّعْقَةُ فَأَكْثِرُوْا عَلَيَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِيْهِ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ مَعْرُوْضَةٌ عَلَيَّ. فَقَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُوْلَ اللهِ, كَيْفَ تُعْرَضُ صَلاَتُنَا عَلَيْكَ وَقَدْ أَرَمْتَ ؟ قَالَ : إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ عَلىَ الأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ الأَنْبِيَاءِ.

“Sesungguhnya hari-hari kalian yang paling utama adalah hari jum’at, padanya terjadi tiupan sangkakala, padanya terjadi sho’qoh, maka perbanyaklah bershalawat kepadaku pada hari itu, karena shalawat kalian akan ditampakkan kepadaku”. Lalu ada seseorang berkata ,”Wahai Rosulullah, bagaimana shalawat kami akan ditampakkan kepadamu sementara engkau telah menjadi tulang belulang ? beliau bersabda,” Sesungguhnya Allah ‘Azza wajalla mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi”. (HR Abu Dawud, Nasai dan lainnya).[24]
Dan surat yang paling utama di hari jum’at adalah surat Al Kahfi, sabda Nabi :

مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّوْرِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ.

“Barang siapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari jum’at, akan bersinar untuknya cahaya antara dua jum’at”. (HR Al Hakim dan Baihaqi).[25]
Adapun membaca surat Yasin di hari jum’at, maka tidak ada satupun hadits yang shahih yang menunjukkan kepada sunnahnya.[26]

Keenam : Pahala ibadah dilipat gandakan bila bertepatan dengan tempat yang mulia.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa sholat di masjid Nabawi lebih baik seribu kali lipat dibandingkan dengan sholat di masjid-masjid lain kecuali masjidil haram.

صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِيْ هَذاَ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ.

“Sholat di masjidku ini lebih baik dari seribu sholat di masjid lain kecuali masjidil haram”. (HR Bukhari dan Muslim).[27]
Dan dalam riwayat ibnu Majah[28] :

صَلاَةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ.

“Sholat di masjidil haram lebih utama seratus ribu kali sholat di masjid lain”.
At Tirmidzi[29] meriwayatkan dari Usaid bin Dzuhair bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : الصَّلاَةُ فِيْ مَسْجِدِ قُبَاءَ كَعُمْرَةٍ “Sholat di Masjid Quba sama dengan (pahala) umrah”.
Dan yang harus diketahui adalah bahwa kita tidak boleh menentukan waktu dan tempat yang mulia kecuali dengan dalil.

Ketujuh : Ibadah yang pahalanya menular kepada orang lain lebih utama dari ibadah yang pahalanya hanya untuk diri sendiri.

Nabi shallahu ‘alaihi wasallam lebih mengutamakan ahli ilmu di atas ahli ibadah, karena manfaat ilmu amat besar bagi manusia, berbeda dengan ahli ibadah, pahalanya hanya untuk dirinya sendiri.
Abu Hurairah berkata,”bertafaqquh sesaat lebih aku sukai dari sholat semalam suntuk sampai subuh”.[30]
Berkata Hasan Al Bashri,”Mempelajari satu bab ilmu lalu aku ajarkan kepada seorang muslim lebih aku sukai daripada aku mempunyai semua kekayaan dunia yang aku infakkan di jalan Allah”.[31]
Ibrahim bin Hani berkata,” Aku berkata kepada kepada Ahmad bin Hanbal :” Mana yang paling engkau sukai ; duduk di malam hari menulis ilmu atau sholat sunnah (tahajjud) ? beliau menjawab,”Jika engkau menulis ilmu, engkau akan mengetahui urusan agamamu, itu lebih aku sukai”.[32]
Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah orang yang paling bermanfaat untuk orang lain sebagaimana akan kita sebutkan dalam bab amal-amal yang paling utama.

Kedelapan : ibadah yang berhubungan dengan dzat ibadah lebih utama dari ibadah yang berhubungan dengan tempatnya.[33]

Contoh praktek kaidah ini : Mana yang lebih utama ; thowaf mendekat ke ka’bah namun tidak dapat melaksanakan sunnah berlari kecil untuk tiga putaran pertama, atau menjauh dari ka’bah namun dapat melakukan sunnah tersebut ?
Jawabnya adalah menjauh lebih utama, karena berlari di tiga putaran pertama adalah ibadah yang berhubungan dengan dzat ibadah dan ini lebih utama. Sedangkan mendekati ka’bah adalah ibadah yang berhubungan dengan tempat saja.
Mana yang lebih utama ; sholat di shaff pertama namun terganggu dengan bau mulut orang yang berada di samping kita, atau mundur ke shaff belakang namun dapat melakukannya dengan khusyu’ tanpa ada gangguan ?
Jawabnya adalah shalat di shaff belakang lebih utama dalam keadaan tersebut, karena kekhusyuan adalah ibadah berhubungan dengan dzat ibadah dan ini lebih berhak di jaga.

Kesembilan : bila bertemu dua ibadah yang sama-sama diperintahkan, maka di dahulukan yang wajib dari ibadah yang sunnah.

Sesungguhnya melaksanakan kewajiban harus lebih di dahulukan dari melaksanakan ibadah yang sunnah, sebagaimana dalam hadits qudsi Allah Ta’ala berfirman :

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ .

“ Dan tidaklah hamba-Ku bertaqorrub kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa-apa yang Aku wajibkan kepadanya “. (HR Bukhari).
Ibnu Daqiq al ‘ied rahimahullah berkata,” Dalam hadits ini terdapat isyarat bahwa ibadah yang sunnah tidak boleh di dahulukan di atas ibadah yang wajib”.[34]
Diantara dalil yang menunjukkan kepada kaidah ini adalah hadits :

دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَ دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلىَ مِسْكِيْنٍ وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلىَ أَهِْلكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِيْ أَنْفَقْتَهُ عَلىَ أَهْلِكَ .

“ Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk memerdekakan budak, dinar yang engkau shodaqohkan kepada fakir miskin, dinar yang engkau infakkan kepada keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah yang engkau infakkan kepada keluargamu “. (HR Muslim). [35]
Karena memberikan nafkah kepada anak dan istri adalah wajib, sehingga ia lebih didahulukan dari yang lainnya. Diantaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ صَلاَةَ إِلاَّ الْمَكْتُوْبَةَ.

“ Apabila sholat telah ditegakkan, maka tidak ada sholat kecuali yang diwajibkan”. (HR Muslim).[36]
Hadits ini menunjukkan bahwa kewajiban harus lebih di dahulukan dari ibadah yang sunnah, maka apabila seseorang sedang melaksanakan sholat sunnah, lalu di kumandangkan iqomah, ia harus membatalkan sholat sunnahnya untuk melaksanakan sholat wajib bersama imam.
Dalil yang paling tegas menunjukkan kepada kaidah ini adalah kisah yang diceritakan oleh Abu Sa’id bin Al Mu’alla ia berkata,”Aku pernah sholat di masjid, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilku, namun aku tidak menjawab panggilannya, (setelah sholat) aku berkata,”Wahai Rosulullah, sesungguhnya tadi aku sedang sholat”. Belau bersabda,” Bukankah Allah berfirman : اسْتَجِيْبُوْا لِلَّهِ وَلِلرَّسُوْلِ إِذَا دَعَاكُمْ “Jawablah panggilan Allah dan Rosul-Nya apabila memanggilmu “. (HR Bukhari).[37]
Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menerima alasan Abu Sa’id yang tidak menjawab panggilan beliau karena alasan sedang sholat, karena menjawab panggilan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah wajib dan harus didahulukan dari ibadah sunnah.

Kesepuluh : Apabila bertemu dua kewajiban maka didahulukan ibadah yang paling wajib.

Wajib ada dua macam, wajib ‘ain dan wajib kifayah, wajib ‘ain lebih utama dari wajib kifayah, maka apabila bertemu dua kewajiban, kita lihat sifat kewajiban tersebut, jika kedua-duanya wajib ‘ain maka kita dahulukan yang paling wajib, contohnya bila ayah dan ibu memanggil, dahulukan menjawab panggilan ibu, karena ia lebih wajib berdasarkan hadits :

جَاءَ رَجُلٌ إِلىَ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِيْ ؟ قَالَ : أُمُّكَ, قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : أُمُّكَ, قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : أُمُّكَ, قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أَبُوْكَ.

“ Datang seorang laki-laki kepada Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata,” Wahai Rosulullah, siapakah orang yang paling berhak saya berbakti kepadanya ? beliau menjawab,” Ibumu “. Ia berkata,” kemudian siapa ? beliau menjawab,” ibumu”. Ia berkata,” Kemudian siapa ? beliau menjawab,” Kemudian ayahmu “. (HR Bukhari dan Muslim).
Berbakti kepada ibu lebih wajib karena ia yang paling payah dalam mengurus anak, dimulai dari mengandung, melahirkan, menyusui dan seterusnya sampai dewasa.
Diantara contohnya adalah kisah yang ditunjukkan oleh hadits ibnu ‘Abbas :

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ. فَقَامَ الرَّجُلُ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ, امْرَأَتِيْ خَرَجَتْ حَاجَّةً وَاكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا, قَالَ : ارْجِعْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ.

“ Tidak boleh seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya “. Lalu seseorang bangkit dan berkata,” Wahai Rosulullah, sesungguhnya istriku pergi haji sementara aku diwajibkan mengikuti perang ini dan itu “. Beliau bersabda,” Susul istrimu, hajilah bersamanya “. (HR Bukhari dan Muslim).[38]
Perhatikanlah, shahabat itu terkena dua wajib ‘ain, yaitu mengikuti perang yang diperintahkan imam atasnya dan menemani istrinya melaksanakan ibadah haji, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing kepada yang lebih wajib, yaitu menemani istrinya haji. Dan ini lebih kuat dari mengikuti perang, karena dalam rangka menghindarkan istrinya dari maksiat pergi sendirian tanpa mahram, sedangkan perang dapat diganti oleh orang lain.
Dan apabila bertabrakan antara wajib ‘ain dengan wajib kifayah, maka wajib ‘ain lebih di utamakan dari wajib kifayah. Contohnya adalah menuntut ilmu tauhid lebih diutamakan dan didahulukan dari menuntut ilmu mushtolah hadits, karena ilmu tauhid adalah kewajiban atas setiap muslim untuk mempelajarinya.

Kesebelas : ibadah yang lebih memperbaiki hati lebih utama dari yang tidak demikian.

Lurusnya hati adalah tujuan utama dari ibadah, karena pada hari kiamat tidak bermanfaat harta dan anak-anak kecuali yang datang dengan mambawa hati yang selamat.

يَوْمَ لاَ يَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُوْنَ إِلاَّ مَنْ أَتىَ اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ.

“Pada hari tidak bermanfaat harta dan anal-anak, kecuali siapa yang datang dengan membawa hati yang selamat”. (Asy Syu’ara : 88-89).
Imam Ahmad pernah ditanya mengenai sebagian amal, beliau menjawab,”Lihatlah yang lebih mashlahat untuk hatimu, lakukanlah !”[39]
Bila ada orang ternyata pada suatu keadaan tidak dapat khusyu’ ketika membaca al qur’an, namun ketika ia membaca subhanallah, alhamdulillah, laa ilaaha illallah Allahu akbar hatinya dapat khusyu’ dan takut kepada Allah, maka ini menjadi lebih utama, walaupun pada asalnya membaca al qur’an itu lebih utama.
Terkadang memikirkan dosa dan kesalahan sehingga menimbulkan taubat dan penyesalan lebih utama dari membaca al qur’an atau dzikir.

Kedua belas : Semakin sulit suatu ibadah semakin besar pahala yang diraih.

Banyak dalil yang menunjukkan kepada kaidah ini, diantaranya adalah hadits :

أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلىَ مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ ؟ قَالُوْا : بَلىَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ! قَالَ : إِسْبَاغُ الْوُضُوْءِ عَلىَ الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلىَ الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ.

“Maukah aku tunjukkan kepada amal yang dengan Allah hapuskan kesalahan-kesalahan dan meninggikan dengan derajat ? mereka berkata,” Mau wahai Rosulullah !” Beliau bersabda,”Menyempurnakan wudlu ketika sulit, banyak berjalan menuju masjid, dan menunggu sholat setelah sholat itulah ribath, itulah ribath, itulah ribath”. (HR Muslim).[40]
Disini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghususkan wudlu ketika cuaca sulit tanpa wudlu ketika mudah, ini menunjukkan bahwa pahalanya lebih besar. namun yang harus diingat adalah bahwa tidak setiap pahala besar disesuaikan dengan kesulitan yang ada, terkadang ada faktor lain yang mempengaruhinya sebagaimana akan dijelaskan dalam kaidah berikut ini.

Ketiga belas : Suatu amal semakin besar manfaat, mashlahat dan faidahnya semakin besar pula pahalanya.

Syaikhul islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,” Diantara perkara yang harus diketahui bahwa sesungguhnya keridlaan dan cinta Allah tidak terletak pada sebatas menyusahkan jiwa, dan membawanya kepada sesuatu yang berat, sebagaimana yang disangka oleh orang jahil bahwa pahala itu disesuaikan dengan kesulitan pada segala sesuatu.
Tidak demikian ! akan tetapi pahala itu sesuai dengan besar kecilnya manfaat, mashlahat dan faidah amal, juga sesuai dengan ketaatan ia kepada Allah dan rosul-Nya, maka diantara dua amal ada yang paling baik, dan pelakunya paling taat dan mengikuti (sunnah) maka ia adalah yang paling utama, karena amalan itu tidak berbeda-beda derajatnya hanya dari sisi kwantitas saja, namun berbeda-beda sesuai dengan hasil yang ditimbulkan oleh amal tersebut pada hatinya.
Oleh karena itu, ketika saudari ‘Uqbah bin ‘Amir bernadzar untuk haji dengan berjalan kaki dan tidak memakai alas kaki, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,” Sesungguhnya Allah tidak butuh kepada perbuatan saudarimu yang menyusahkan dirinya”[41]… dst.[42]
Ini menunjukkan bahwa kesulitan yang ditimbulkan oleh perbuatan hamba adalah tercela, karena ia telah memperberat agama yang mudah ini, sebagaimana hadits :

إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادُّ الدِّيْنَ إِلاَّ غَلَبَهُ.

‘Sesungguhnya agama ini mudah, tidak ada orang yang memperberatnya kecuali akan kalah”. (HR Bukhari).[43]
Adapun kesulitan yang timbul bukan karena perbuatan hamba yang menyulit-sulitkan maka pahalanya semakin besar sesuai dengan kadar kesulitan tersebut.

Keempat belas: Mengetahui ibadah yang paling utama.

Para shahabat selalu bertanya kepada Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang amal yang paling utama, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwasannya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya,” Amal apa yang paling utama ? beliau menjawab,” Iman kepada Allah dan Rosul-Nya”. Ditanya,” Kemudian apa ? beliau menjawab ,”Jihad di jalan Allah”. ditanya,” kemudian apa ? beliau menjawab ,”Haji mabrur”. (HR Bukhari).[44]
Mengetahui ibadah yang paling afdlal amat berguna terutama ketika dihadapkan kepada dua buah amal yang sama-sama berpahala, sehingga iapun dapat memilih amal yang paling besar pahalanya, karena orang yang faqih bukan orang yang hanya sebatas mengetahui halal dan haram, namun orang yang faqih adalah yang yang mengetahui derajat kehalalan dan keharaman, derajat pahala dan siksa, serta derajat mashlahat dan mafsadah, sehingga ia mampu meraih pahala yang besar dengan sedikit amal.
Perbedaan pendapat mengenai ibadah yang paling utama.
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata,” Kemudian ahli iyyaka na’bud berbeda pendapat mengenai ibadah yang paling utama, paling bermanfaat, dan paling berhak untuk didahulukan menjadi empat kelompok :
Kelompok pertama : ibadah yang paling utama menurut mereka adalah yang paling berat kepada jiwa, mereka beralasan karena itu adalah yang paling jauh dari hawa nafsunya yang merupakan hakikat ibadah, sedangkan besarnya pahala ibadah disesuaikan dengan kesulitan yang ada padanya.
Mereka berkata,” Sesungguhnya jiwa hanya akan lurus dengan ini, karena tabiat jiwa adalah malas dan hina serta condong kepada kehidupan dunia, maka tidak akan lurus kecuali dengan melakukan hal-hal yang berat”.
Kelompok kedua : Ibadah yang paling utama adalah zuhud dalam kehidupan dunia, mempersedikit darinya semampu mungkin, dan mereka terbagi menjadi dua kelompok :
Awam mereka menyangka bahwa ia adalah tujuan, maka mereka pun bersungguh-sungguh mengamalkannya dan mendakwahkan kepadanya, mereka berkata,” Zuhud lebih utama dari derajat ilmu dan ibadah”. Mereka menganggap bahwa zuhud dalam kehidupan dunia adalah tujuan ibadah dan pokoknya.
Sedangkan Khowas mereka memandang bahwa zuhud hanyalah sebagai wasilah saja, karena maksud tujuannya adalah mengumpulkan hati kepada Allah, memenuhi hati dengan kecintaan kepada-Nya.
Kelompok ketiga : ibadah yang paling utama menurut mereka adalah yang manfaatnya menular kepada orang lain, sehingga mereka memandang bahwa membantu fakir miskin, sibuk dengan mengurus kemashlahatan manusia dan memenuhi kebutuhan mereka, serta membantu dengan harta dan kedudukan adalah ibadah yang paling utama.
Mereka berhujjah bahwa pelaku ibadah apabila meninggal, ibadahnya terputus. Sedangkan pemberi manfaat tidak akan terputus amalannya, selama manfaatnya masih ada.
Mereka juga beralasan bahwa tujuan para Nabi diutus adalah untuk berbuat ihsan kepada makhluk dan memberikan hidayah dan manfaat dalam dunia dan akhirat mereka. Mereka tidak diutus untuk menyendiri dan memutuskan hubungan dengan manusia.
Kelompok keempat : ibadah yang paling utama adalah mencari keridloan Allah pada waktunya masing-masing sesuai dengan (ibadah) yang ada pada waktu tersebut. Yang paling utama di waktu jihad dikumandangkan adalah berjihad, walaupun harus meninggalkan wirid yang biasa dilakukan, atau meninggalkan sholat malam, bahkan meninggalkan menyempurnakan sholat fardlu.
Yang paling utama ketika datang tamu adalah melayaninya, walaupun harus meninggalkan hak istri dan keluarga.
Yang paling utama di waktu sahar (akhir malam) adalah menyibukkan diri dengan sholat, membaca Al Qur’an, do’a, dzikir, dan istighfar.
Yang paling utama ketika membimbing murid-murid dan mengajar orang yang bodoh adalah bersungguh-sungguh mengajar dan membimbing mereka.
Yang paling utama ketika adzan dikumandangkan adalah menjawab adzan, dan meninggalkan wirid yang sedang ia lakukan.
Yang paling utama di waktu sholat lima waktu adalah bersungguh-sungguh menegakkannya dengan sisi yang paling sempurna, bergegas pergi di awal waktu, pergi menuju masjid jami’ dan lebih jauh jaraknya lebih baik lagi.
Yang paling utama di waktu ada orang yang membutuhkan bantuan dengan melalui kedudukan atau badan atau harta adalah menyibukkan diri dengan membantunya, dan menghilangkan kesusahannya.
Yang paling utama di waktu membaca Al Qur’an adalah mengumpulkan hati dan keinginan untuk mentadabburi dan memahaminya, sehingga seakan-akan Allah mengajaknya berbicara. Keinginannya untuk mentadabburi dan memahami Al Qur’an lebih agung dari keinginannya untuk memahami surat penguasa yang datang menghampirinya.
Yang paling utama ketika wuquf di ‘Arofah adalah sunguh-sungguh dalam berdo’a dan dzikir, tidak berpuasa yang dapat melemahkannya berbuat amal tersebut.
Yang paling utama pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah memperbanyak ibadah, terutama takbir, , tahlil dan tahmid. Ia lebih utama dari jihad yang bukan fardlu ‘ain.
Yang paling utama pada sepuluh hari terakhir ramadlan adalah beri’tikaf di masjid bahkan lebih utama dari mengajarkan ilmu dan membacakan Al Qur’an menurut banyak ahli ilmu.
Yang paling utama ketika saudara kita sakit atau meninggal adalah menjenguknya, atau menghadiri jenazahnya dan mengantarnya sampai ke kuburan, dan itu lebih didahulukan dari bersendirian bersungguh-sungguh beribadah.
Yang paling utama ketika menghadapi gangguan manusia adalah melaksanakan kewajiban sabar sambil terus bergaul dengan mereka, karena mukmin yag bergaul dengan manusia dan sabar menghadapi gangguan mereka lebih utama dari mukmin yang tidak bergaul dan tidak menghadapi gangguan manusia.
Yang paling utama adalah bergaul dengan manusia dalam kebaikan, ia lebih baik dari tidak bergaul dengan mereka, dan tidak bergaul dengan mereka dalam keburukan adalah lebih utama dari bergaul dengan mereka, namun jika ia yakin bahwa jika ia bergaul dengan mereka dapat mempersedikit kadar keburukan atau menghilangkannya maka itu lebih utama.
Jadi yang paling utama pada setiap waktu dan keadaan adalah mencari keridlaan Allah Ta’ala pada waktu dan keadaan tersebut sesuai dengan kewajiban yang ada pada waktu dan keadaan itu.
Mereka adalah ahli ibadah mutlak, sedangkan tiga kelompok sebelumnya adalah ahli ibadah terbatas dimana apabila ia keluar dari ibadah yang ia anggap paling utama tersebut, ia menganggap telah mengurangi dan meninggalkan ibadahnya. Sehingga ia beribadah kepada kepada Allah dengan satu sisi saja
Sedangkan ahli ibadah mutlak tidak ada tujuan mengutamakan suatu ibadah tanpa yang lainnya, namun tujuannya adalah mencari keridloan Allah dimana pun ia berada, sehingga poros ibadahnya adalah di atas keridloan Allah, maka ia senantiasa berpindah-pindah dalam tempat-tempat ubudiyah, tatkala disuguhkan untuknya suatu ibadah ia bersungguh-sungguh melakukannya sampai terlihat olehnya tempat ibadah lainnya. Itulah motto ibadahnya sampai berhenti perjalanan (hidup)nya.
Jika engkau melihat ulama, engkau lihat ia bersama mereka.
jika engkau melihat ahli ibadah, engkau lihat ia bersama mereka.
jika engkau melihat para mujahidin, engkau lihat ia bersama mereka.
jika engkau melihat orang-orang yang banyak berdzikir, engkau lihat ia bersama mereka.
Jika engkau melihat orang-orang yang senantiasa bershodaqoh lagi dermawan, engkau pun lihat ia bersama mereka.
Jika engkau melihat orang yang membulatkan hatinya untuk Allah, engkau lihat ia bersama mereka.
Inilah ahli ibadah mutlak yang tidak diikat oleh ikatan tertentu tidak juga ciri khas tertentu, amalannya tidak hanya sebatas sesuai dengan yang diinginkan oleh jiwanya, tidak hanya sebatas untuk kelezatan dan ketenangan jiwanya, namun amalannya adalah yang sesuai dengan keinginan Rabbnya, walaupun kelezatan dan ketenangan jiwanya pada selain itu.
Inilah hamba yang merealisasikan “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” secara hakiki, yang melaksanakannya dengan penuh kejujuran. Pakaiannya sebatas apa yang ada, makanannya sebatas apa yang mudah, dan kesibukannya adalah melaksanakan perintah Allah di setiap waktu sesuai dengan ibadah yang ada pada waktu itu…”.[45]
Saudaraku, agar lebih memahami pemahasan ini, alangkah baiknya jika kita mengenal amal-amal yang paling utama, dan yang paling utama dari amal, sehingga kita dapat menilai derajat dan tingkatan amal, dan mengambil yang paling besar pahalanya.
Sumber : www.abuyahyabadrusalam.com

[1] Muslim 2/697 no 1006.
[2] Bukhari no 26 dari Abu Hurairah r.a bahwasannya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya,” Amal apa yang paling utama ? beliau menjawab,” Iman kepada Allah dan Rosul-Nya”. Ditanya,” Kemudian apa ? beliau menjawab ,”Jihad di jalan Allah”. ditanya,” kemudian apa ? beliau menjawab ,”Haji mabrur”. Adapun lafadz yang dibawakan oleh ibnu Qayyim adalah riwayat ibnu Hibban dan Al Hakim dari Ma’iz radliyallahu ‘anhu yang dishahihkan oleh syaikh Al Bani dalam shahih Jami’ Ash Shoghir no 1092.
[3] Miftah darissa’adah 1/107 tahqiq Sayyid Imran.
[4] Ibnu Katsir. Tafsir Al Qura’anil ‘adziem 5/154 Ta’liq Hani Al Haajj.
[5] Lihat ilmu ushul bida’ hal 60-61.
[6] Tazkiyatun nufus hal 20 karya Doktor Ahmad Farid.
[7] Bukhari no 1410, dan Muslim 2/702 no 1014.
[8] Abu Dawud no 796 : Haddatsana Qutaibah bin Sa’id dari Bakr bin Mudlar dari ibnu ‘Ajlan dari Sa’id Al Maqburi dari Umar bin Al Hakam dari Abdullah bin ‘Anamah Al Muzani dari ‘Ammar bin Yasir ia berkata,” Aku mendengar Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda … al hadits. Qultu : sanadnya hasan karena ibnu ‘Ajlan dan Umar bin Al Hakam shoduq sebagaimana yang dikatakan oleh Al Hafidz ibnu hajar rahimahullah.
[9] Tazkiyatunnufus hal 17.
[10] Idem.
[11] No 495 dari Sawwar bin Daud dari Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya. Qultu, sanad hadits ini hasan.
[12] An Nasai 4/510 no 2333 dari Hafshah radliyallahu ‘anha dengan sanad yang shahih.
[13] No 2455 dari Jalan Thalhah bin Yahya dari dari Aisyah bintu Tholhah dari ‘Aisyah radliyallahu ‘anha. Qultu : sanad ini hasan, karena Thalhah bin Yahya adalah perawi yang shoduq.
[14] Tafsir ibnu Katsir 6/235 ta’liq Hani AlHaaj.
[15] Dalam kitab mandzumah ushul fiqih hal 111-122. Dan penulis bawakan disini dengan sedikit perubahan redaksi.
[16] Adapun bila bertentangan dengan syari’at seperti pakaian yang ketat, atau tipis, atau menyerupai orang kafir, atau menyerupai lawan jenis, atau pakaian syuhrah dan lainnya maka ini hukumnya haram.
[17] Diriwayatkan oleh Abu Dawud no 4029 dari beberapa jalan dari Syarik dari Utsman bin Abi Zur’ah dari Al Muhajir Asy Syami dari ibnu Umar secara marfu’. Di hasankan oleh Syaikh Al Bani rahimahullah.
[18] Lihat ilmu ushul bida’ hal 55-56.
[19] Abu Dawud no 2438, At Tirmidzi no 757. Dan dikeluarkan juga oleh Al Bukhari no 969 dengan lafadz lain.
[20] Bukhari no 6321 dan muslim 1/521 no 758.
[21] Bukhari No 1921.
[22] Ibnu Hajar, fathul bari 4/138.
[23] Muslim no 854.
[24] Abu Daud no 1047 dan An Nasai 3/101 no 1373 dari jalan Husain Al Ju’fi dari Abdurrahman bin Yazid bin Jabir dari Abul Asy’ats Ash Shon’ani dari Aus bin Aus. Qultu : sanad ini shahih, semua perawinya tsiqah.
[25] Al Hakim dalam mustadroknya 2/367 dan Baihaqi dalam sunan kubra 3/249. Dan dishahihkan oleh syaikh Al Bani dalam shahih Jami’ no 6470.
[26] Lihat buku Yasinan buah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawwas حفظه الله .
[27] Bukhari no 1190 dan Muslim 2/1012 no 1394.
[28] No 1406 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani.
[29] No 324. Dishahihkan oleh Syaikh Al Bani.
[30] Lihat shahih Faqih wal mutafaqqih hal 15.
[31] Shahih faqih wal mutafaqqih hal 13.
[32] Ibid.
[33] Lihat syarah mumti’ ibnu ‘Utsaimin 7/280.
[34] Lihat kitab addurrotussalafiyah syarah arba’in annawawiyah hal 266.
[35] Muslim 2/692 no 995.
[36] 1/493 no 710.
[37] No 4474.
[38] Bukhari no 5233. Dan Muslim 2/978 no 1341.
[39] Lihat risalah fi qowa’id fiqhiyyah syaikh Abdurrahman As Sa’di hal 47.
[40] Muslim 1/219 no 251.
[41] HR Abu Daud no 3297, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani rahimahullah.
[42] Ibnu Taimiyah, majmu’ fatawa 25/281-282.
[43] Bukhari no 39.
[44] Al Bukhari no 26.
[45] Ibnu Qayyim, madarijussalikin 1/85-90.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar