وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ

وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ

Selasa, 08 November 2011

Jangan Merasa Benar Sendiri?

catatan ini ana salin dari buku karya ustadz Badrusalam hafizahohulloh yang berjudul “Meniti Jalan Kebenaran – Solusi Kebingungan Di Tengah Keanekaragaman Pemikiran“Selamat membaca, semoga Alloh memberi hidayah kepada kita dan meneguhkan kita di atas hidayahNya hingga ajal menjemput.

“ banyak orang ketika anda tegur kesalahannyayang ia lakukan, berkilah dengan mengatkan: “sudah jangan merasa benar sendiri!”
Sehingga menjadi perkataan banyak orang,apakah perkataan tersebut berasal dari wahyu ataukah hanya sebatas kilah yang tak beralaskan pada dalil? Tentunya hal ini perlu kita cermatisecara seksama dengan denga hati yang dingin apakah ada ayat atau haditsatau pendapat para ulama yang mengatakan dengan perkataan tersebut.

Cobalah kita buka suroh An Nisaa’ : 59
“jika kamu berbeda pendapat tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Alloh (Al qur’an) dan Rosul (assunnah) jka kamu beriman kepada Alloh dan hari kemudian..”

Ayat ini dengan tegas mengatakan bahwasetiap perselisihan wajib dikembalikan kepada Alloh dan Rosul-Nya. Alloh tidak mengatakan : “ Jika kamu berselisih makajanganlah kamu merasa benar sendiri, atau kembalikan kepada pendapat masing2. Akan tetapi Alloh menyuruh untuk mengembalikannya kepada Al Qur’an dan sunnah, ini menunjukkan bahwa yang benar hanyalah Al Qur’an dan Assunnah.”

Para sahabat senantiasa menyalahkan orang2 yang mereka pandang salah dan tidak pernah diantara mereka mengatakan, “jangan merasa benar sendiri!”

seperti dalam suatu kisah yang diriwayatkan oleh al lalikai dalam kitab syarah i’tiqod ahlisunnah dengan sanad yang shohih dan ad darimi dalam sunannya bahwa ibnu Mas’ud mendatangi suatu kaum yang berzikir berjama’ah dengan memakai kerikil dan berkata : “Celaka kamu umat Muhammad betapa sepat kebinasaan kalian. Apakah kamu berada di atas milah Muhammad ataukah kamu hendak membuka pintu kesesatan?” kemudian mereka berkata: “sesungguhnya kami menginginkan kebaikan.” Beliau berkata : “Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi ia tidak mendapatkannya (karen caranya salah)”. Dalam kisah ini tidak dikatakan: “Janganlah Kamu mersa Benar sendiri.”

Demikian pula para tabi’in, disebutkan dalam kisah yang diriwayatkan oleh al baihaqi dalim sunannya, Abdurrozaq, ad Darimi, dan ibn Nashr bahaw sa’id bin musayyib melihat seorang laki2 sholat setelah terbit fajar lebih dari dua rokaat, lalu sa’id melarangnya, kemudian orang itu berkata: “wahai Abu Muhammad, apkah Alloh akan mengadzab saya gara2 sholat?” beliau menjawab: “tidak.,tapi Alloh akan mengadzabmu karena menyalahi sunnah”. Tidak pula dikatakan padanya: “jangan merasa benar sendiri.”

Demikan pula tabi’ut tabi’in dan para ulama setelahnya. Senantiasa mereka membantah pendapat yang mereka pandang lemah atau salah tapi tidak ada satupun dari mereka mengatakan “jangan merasa benar sendiri”. Disebutkan dalam kisah yang shohih bahwa Imam Syafi’i mendebat Imam Ahmad dalam masalah hukum orang yang meninggalkan sholat, dmana Imam ahmad berpendapat bahwa orang yang meninggalkan sholat kafir murtad dari agama islam sedangkan Imam Syafi’i tidak mengkafirkannya, tapi Imam Syafi’i tidak pernah mengatakana: “jangan merasa benar sendiri” tapi yang dikatakan Imam Syafi’i adlah: “Tidaklah aku berdialoq dengan seorangpun kecuali aku berkata: “Ya Alloh alirkanlah kebenaran pada lisan dan hatinya, jika kebenaran itu bersamaku, ia mau mengikutiku dan jika kebenaran itu ada padanya, aku akan mengikutinya.”

Coba anda renungkan perkataan Abu Ismail Abdulloh bin Muhammad Al Anshori, “pedang dihadapkan kepadakusebanyak lima kali, bukan untuk menyuruhku agar aku keluar dari keyakinanku, akan tetapi dikatakan kepadaku :”diamlah dari orang yang menyelisihimu!! Aku tetap menjawab, “aku tidak akan pernah diam”.

Merasa benar merupakan fitrah manusia, buktinya jikaengkau engkau bertanya kepada orang yang mengatakan, “jangan merasa benar sendiri.” : “Apakah anda benar dengan perkataan tersebut?” Tentu ia berkata: “ya”, Dia sendiri merasa benar sendiri dengan pendapat tersebut, lalu ia melarang orang lain merasa benar sendiri, jelas ini kontradiktif yang fatal.

Meluruskan pemahaman sebagian orang ada yang berdalil dengan sebuah kisah yang diriwatyatkan oleh Bukhori dan Muslim bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wassalam bersabda: “Janganlah kamu sholat kecuali di Bani Quroidzoh, kemudian ditengah jalan masuk waktu ashar, maka sebagian mereka berkata,”kita sholat disana”, sebagian berkata, “kita sholat di jalan, beliau tidak bermaksud demikian”. Lalu disebutkan hal itu kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam tapi bliau tidak mencela seorangpun dari mereka.

Al Hafidz ibnu Hajar dalam fathul bari (7/409-410) berkata,”berdalil dengan kisah ini mengatakan bahwa setiap mujtahid itu benar adalah pendalilan yang tidak jelas, hadits ini hanya menunjukkan bahwa bliau tidak mencela orang yang memberikan kesungguhan untuk berijtihat”. Hal ini menunjukkan kepada dua perkara.
Pertama: pendapat yg mengatkan bahwa setiap mujtahid itu benar adalah pendapat yang bathil, karena nabi shollallohu ‘alaihi wasallam dalam hadits ijtihad (yaitu hadits: “apabila hakim berijtihad kemudian benar maka ia mendapat dua pahala dan apabila salah maka ia meendapat satu pahala”). Beliau shollalllohu ‘alaihi wasallam hanya menyebutkan benar atau salah tidak mengatakan bahwa kedua-duanya benar.
Kedua: bahwa perkara ini khusus para mujtahid, adapun bila mujtihid itu salah dalam ijtihadnya maka haram kita mengikuti kesalahannya tersebut.

Sebagian lagi ada yang berkata, “sudahlah selama itu masih di perselisihkan oleh para ulama tidak perlu kita merasa benar sendiri”, sehingga perselisihan ulama dijadikan hujjah untuk membolehkan pendapatnya, padahal Alloh subhanahu wata’ala menyuruh kita untuk mencari pendapat yang paling dekat kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Pendapat ini telah disanggah oleh para ulama di antaranya adalah imam ibnu abdil barr, beliau berkata, “perselisihan ulama bukan hujjah dari zaman dahulu sampai sekarang”. [a’lamul hadits (3/2092)]
Ibnu taimiyah berkata,”tidak boleh seorangpun bberhujjah dengan pendapat seseorang dalam perkara yang masih diperselisihkan, karena hujjah itu hanyalah nash, ijma dan dalil yang diambil dari keduanya, bukan diambil dari pendapat ulama, karena pendapat ulama  dijadikkan hujjah bila sesuai dengan dalil yang disyariatkan dan tidak boleh dijadikan hujjah untuk menolak dalil syariat”. [majmu fatawa (26/202-203)]

Demikian pula para ulama ushul fiqh telah membahas suatu bab ilmu ushul fiqh yang bernama bab tarjih yaitu tata cara memilih pendapat yang paling kuat, bila sebatas perselisihan ulama dapat dijadikan alasan tentulah pembahasan maslah terjih tidak akan ada manfaatnya.

Bahkan berhujjah dengan perselisihan para ulama pada azaman sekarang di gunakan oleh aliran sesat JIL dimana mereka selalu membawakan pendapat ulama yang sesuai dengan seleranya. Hal ini menunjukkan bahwa berhujjah dengan perselisihan ulama adalah membuka pintu bagi orang2 sesat untuk berkilah dan membenarkan pendapatnya. Sungguh benar perkataan seoarang ulama salaf, “Barang siapa yang mencari2 rukhsoh para ulama ia akan menjadi zindiq”.

Jadi, merasa benar dengan pendaptnya yang jelas dalilnya lebih2 bila didukung oleh ijma ulama adalah sebuah keharusan sedangkan merasa benar denagn kesesatan adalah kesalahan fatal. Adapun dalam perkara ijtihadi yang tidak ada dalilnya yang gamblang maka kita ikuti yang paling kuat dalilnya tanpa menyesatkan yang lainnya. Wallohu a’lam.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar