وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ

وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ

Kamis, 31 Mei 2012

Tabligh Akbar Masjid Al Hasanah


Hadirilah Tabligh Akbar

Tema            : PESAN-PESAN ISLAM KEPADA GENERASI MUDA
Penceramah  : Ustadz DR. Ali Musri Semjan Putra, M.A
Tempat         : Masjid Al hasanah
Waktu          : 10 juni 2012
Pukul            : 09.00- dzuhur

lokasi : JL. Otto Iskandar no 64C, Kel. Bidara cina, Kec. Jatinegara, Jakarta Timur

CP : Muhammad 089631516497

Biografi Ustadz :


Nama                                : Dr. Ali Musri Semjan Putra, MA.
Tempat Tanggal/lahir       : Sumatera Barat, 09 Januari 1972.
Pekerjaan                         : Ketua Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafi’i (STDIIS) Jember
Alamat                              : Jl. MH. Tamrin, Gang Kepodang no. 5, Jember – Jawa Timur.
Riwayat Pendidikan:

Kamis, 12 April 2012

Semua Adalah Karena Rahmat Allah

Dari Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju kami, lalu bersabda, ‘Baru saja kekasihku Malaikat Jibril menemuiku dia memberitahu, ‘Wahai Muhammad, Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran. Sesungguhnya Allah memiliki seorang hamba di antara sekian banyak hamba-Nya yang melakukan ibadah kepada-Nya selama 500 tahun. Ia hidup di puncak gunung yang berada di tengah laut. Lebarnya 30 hasta dan panjangnya 30 hasta juga. Sedangkan jarak lautan tersebut dari masing-masing arah mata angin sepanjang 400 farsakh. Allah mengeluarkan mata air di puncak gunung itu hanya seukuran jari, airnya sangat segar mengalir sedikit demi sedikit, hingga menggenang di bawah kaki gunung.

Allah juga menumbuhkan pohon delima, yang setiap malam mengeluarkan satu buah delima matang untuk dimakan pada siang hari. Jika hari menjelang petang, hamba itu turun ke bawah mengambil air wudhu sambil memetik buah delima untuk dimakan. 

Kemudian mengerjakan shalat. Ia berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala jika waktu ajal tiba agar ia diwafatkan dalam keadaan bersujud, dan mohon agar jangan sampai jasadnya rusak dimakan tanah atau lainnya sehingga ia dibangkitkan dalam keadaan bersujud juga.

Demikianlah kami dapati, jika kami lewat di hadapannya ketika kami menuruni dan mendaki gunung tersebut.

Hakikat Cinta Sejati


Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga terlimpahkan kepada nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Masyarakat di belahan bumi manapun saat ini sedang diusik oleh mitos 'Cinta Sejati', dan dibuai oleh impian 'Cinta Suci'. Karenanya, rame-rame, mereka mempersiapkan diri untuk merayakan hari cinta "Valentine's Day".
Pada kesempatan ini, saya tidak ingin mengajak saudara menelusuri sejarah dan kronologi adanya peringatan ini. Dan tidak juga ingin membicarakan hukum mengikuti perayaan hari ini. Karena saya yakin, anda telah banyak mendengar dan membaca tentang itu semua. Hanya saja, saya ingin mengajak saudara untuk sedikit menyelami: apa itu cinta? Adakah cinta sejati dan cinta suci? Dan cinta model apa yang yang selama ini menghiasi hati anda?

Jumat, 18 November 2011

Yang Hampir Punah Dizaman Ini


Tidak diragukan lagi bahwa kita tengah berada di suatu zaman dimana nilai-nilai ukhuwwah (persaudaraan) yang dibangun karena Allah mulai pudar. Orang-orang tidak saling berhubungan melainkan karena pertimbangan materi belaka. Mereka saling mencintai dan membenci karena dunia. Tidaklah salah seorang dari mereka mendekati yang lain dengan wajah yang manis kecuali karena ada maunya. Tatkala kepentingan itu tidak tercapai, maka senyuman pun berubah menjadi raut masam.

Hal semacam ini bukanlah termasuk gaya hidup as-Salafus Shalih. Mereka sungguh sangat jauh dari model hidup seperti itu. Tidaklah mereka mencintai dan bersahabat dengan seseorang melainkan karena Allah.


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَتَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوْا

“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman dan tidaklah kalian beriman sampai kalian saling mencintai…”[1]

Sungguh, persahabatan dalam kondisi aman dan tentram sama sekali tidak berat dan tidak bertentangan dengan keinginan-keinginan hati. Bahkan ukhuwwah dalam kondisi ini merupakan perkara yang diinginkan oleh hati, dimana setiap orang berusaha untuk mewujudkannya dalam rangka meraih ketenangan jiwa. Namun pada saat kondisi genting atau ingin mendapatkan sesuatu yang sangat berharga, maka saat itulah teruji ukhuwwah yang sejati. Ujian inilah yang membedakan antara sikap itsar (mengutamakan orang lain) dan egoisme, yang kadang tersembunyi dalam diri pemiliknya ketika dalam kondisi aman dan tentram, sampai-sampai ia menyangka bahwa ia adalah sahabat sejati yang merealisasikan segala konsekuensi ukhuwwah. Padahal kenyataannya tidaklah demikian.[2]

Mari kita simak beberapa kisah persaudaraan para salafus sholih yang benar-benar teruji, bahkan hingga detik-detik sakarotul maut persaudaraan itu tetap mereka pegang teguh.

Seperti Hati Burung



Dari Abu Hurairoh radiyallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Akan masuk surga suatu kaum, hati mereka seperti hati burung” (HR. Muslim) maknanya adalah dalam merealisasikan tawakal.

Lantas seperti apa hati burung? Hal ini dijelaskan oleh hadits dari sahabat Umar bin khotob radiyallahu’anhu, bahwasannya beliau mendengar Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Andaikan kalian tawakal kepada Allah dengan sebenarnya, niscaya Allah akan memberi rizki kepada kalian seperti memberi rizki kepada burung. Mereka pergi pagi hari dengan perut kosong dan pulang sore hari dengan perut kenyang” (shahih Tirmidzi, beliau berkata, ‘hadits hasan sohih)

Mengomentari hadits tersebut, Ibnu Rajab rohimahullah berkata di dalam kitabnya Jami’ul ‘ulum wal Hikam, “Hadits ini adalah dasar atau asas di dalam bertawakal, hal terebut juga merupakan diantara sebab yang paling besar dalam memperoleh rizki,” Oleh karena itu, kita tidak pernah mendengar seekor burung pada pagi hari terbentur dengan masalah rizki, lalu dia benturkan kepalanya ke tiang listrik. Itu tidak terjadi pada burung, tapi pada manusia hal tersebut terjadi dan sering kita dengar di berita atau dia media massa.

Di dalam realitanya, merealisasikan hakikat tawakal di dalam hati kita bukan merupakan perkara yang mudah, dia adalah ibadah hati yang sangat agung, dia merupakan sumber kebaikan. Darinya timbul berbagai macam ibadah hati yang lainnya. Bahkan hakikat agama adalah tawakal dan inabah (kembali kepada Allah). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan” (QS. Al-Fatihah : 5) Tawakal adalah isti’anah (minta pertolongan) dan inabah adalah ibadah.

Hilangnya berbagai kebaikan, luputnya kita dari amal yang besar, buruknya ibadah kita – karena tidak hadirnya rasa cinta, harap dan takut – adalah karena masih jauhnya kita dari hakikat tawakal. Bahkan kegelisahan dan ketakutan yang menimpa sebagian kaum muslimin adalah dikarenakan belum hadirnya tawakal di dalam qalbunya.

Berikut ini nukilan kami dari berbagai perkataan ulama tentang definisi dan  hakikat tawakal. Mudah-mudah yang sedikit ini–dengan taufik dari Allah-  bisa membantu kita merealisasikannya. Aamiin

Bagaimana sikap seorang muslim terhadap perayaan tahun baru masehi ???

                Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam dan shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam, keluarga, sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in serta kepada umatnya yang senantiasa berjalan diatas petunjuk beliau hingga akhir zaman.

                Merayakan tahun baru masehi merupakan suatu fenomena yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya ditengah masyarakat. Bahkan sebagian orang telah mempersiapkan segala sesuatunya beberapa hari sebelum datangnya malam tahun baru masehi tersebut, mulai dari membuat makanan nasi tumpeng, terompet, kembang api dan lain sebagainya. Inilah fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Namun apakah dengan banyaknya orang yang merayakan, hal tersebut dilegalkan dan dibenarkan dalam kacamata islam? Lantas bagaimanakah sikap seorang muslim terhadap perayaan tahun baru masehi ini ???

Minggu, 13 November 2011

Meraih Pahala Besar dengan Sedikit Amal


Setiap manusia mempunyai tabiat ingin meraih kebaikan yang banyak, baik dalam materi duniawi maupun pahala ukhrawi, namun orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat lebih mengharapkan pahala akhirat dari kesenangan dunia yang sedikit, karena akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.
Allah memerintahkan kita untuk mencari akhirat tanpa melupakan dunia :

وَابْتَغِ فِيْمَا آتَاكَ اللهُ الدَّارَ الأَخِرَةَ وَلاَ تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا.

“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia…”. (Al Qashash : 77).
Dahulu, kaum mukminin sibuk berlomba mencari pahala akhirat. Abu Dzarr radliyallahu ‘anhu berkata,” Sesungguhnya beberapa orang dari shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ,”Wahai Rosulullah, orang-orang kaya telah pergi membawa pahala banyak ; mereka sholat sebagaimana kami sholat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka dapat bersedekah dengan kelebihan harta mereka…”. (HR Muslim).[1]
Subhanallah ! mereka iri kepada orang kaya bukan karena mempunyai materi kekayaan yang tidak mereka miliki, namun iri karena orang kaya dapat berinfaq dan shodaqah sementara mereka tidak, sehingga mereka tidak dapat meraih pahala besar seperti yang diraih oleh orang kaya.
Memang itulah tempat perlombaan kaum mukminin, maka selayaknya bagi seorang muslim untuk memikirkan masa depannya di hari akhirat, karena harta dan anak-anak pada hari itu tidak bermanfaat kecuali orang yang membawa hati yang selamat, membawa pahala besar agar dapat menyelamatkan dirinya dari api neraka.
Saudaraku, agar mendapat pahala yang besar, kita sangat membutuhkan ilmunya, karena orang yang berilmu dapat meraih pahala yang besar dengan sedikit amal, ibnu Qayyim rahimahullah berkata,” Orang yang berilmu, sedikit amalnya namun lebih banyak pahalanya, kenyataan membuktikan demikian, dimana para pekerja amat lelah bekerja, sementara instruktur hanya duduk memerintah dan melarang serta memperlihatkan tata caranya, namun gajinya jauh lebih tinggi dari pada para pekerja.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengisyaratkan kepada makna ini, sabdanya :

أَفْضَلُ الأَعْمَالِ الإِيْمَانُ بِاللهِ ثُمَّ الْجِهَادُ.

“Iman yang paling utama adalah beriman kepada Allah kemudian jihad “.[2]
Padahal jihad adalah mengorbankan jiwa raga dan menghadapi kesusahan yang dahsyat, sedangkan iman adalah ilmu di hati, amal dan pembenaran, dan ia amalan yang paling utama. Padahal jihad jauh lebih melelahkan dan sulit berkali-kali lipat.
Hal ini karena dengan ilmu dapat diketahui martabat dan tingkatan amalan, mana yang afdlal dan mana yang tidak, mana yang unggul dan mana yang tidak.. sementara orang yang beramal tanpa ilmu mengira bahwa keutamaan itu terletak pada kesulitan yang ia hadapi”.[3]
Ada beberapa perkara yang harus kita fahami, agar dapat meraih pahala besar :